Senin, 18 April 2011

tugas 3

makalah modal asing dan utang luar negeri
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya. 
Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri. Untuk mengarah kesana, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri. 
Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana pembagunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana international lainnya seperti pinjaman luar negeri. 
Penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Modal asing yang dibawa oleh investor merupakan hal yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Selain itu, kegiatan investasi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima modal, seperti mendorong pertumbuhan bisnis, adanya supply teknologi dari investor baik dalam bentuk proses produksi maupun teknologi permesinan, dan menciptakan lapangan kerja.
Penanaman modal asing merupakan salah satu bentuk utama transaksi bisnis internasional, di banyak negara, peraturan pemerintah tentang penanaman modal asing mensyaratkan adanya joint venture, yaitu ketentuan bahwa penanaman modal asing harus membentuk joint venture dengan perusahaan lokal untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang mereka inginkan. 
Dibukanya peluang bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, maka dengan sendirinya dibutuhkan perangkat hukum untuk mengatur pelaksanaannya, agar investasi yang diharapkan memberikan keuntungan yang besar dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Sejarah Orde Baru selama periode 1966-1997 telah membuktikan betapa pentingnya peran investasi langsung khususnya asing (Penanaman Modal Asing) sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Negara Indonesia. 
Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikutinya. Diantaranya adalah Undang-undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing jo Undang-undang No. 11 tahun 1970, Undang-undang N0. 6 Tahun 1968 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian diubah dengan Undang-undang Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Dalam ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal selanjutnya disebut UUPM, menyatakan bahwa: “Penanaman Modal Asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilyah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.
Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan orde lama, ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan atau terjerat dalam vicious circle (pendapatan rendah karena baru merdeka, hasrat konsumsi tinggi, kemampuan menabung rendah, tingkat investasi rendah, dan akibatnya pendapatan kembali rendah, dan seterusnya berulang-ulang) sehingga, pada akhirnya Indonesia tetap miskin. Oleh karena itu sejak pemerintahan Orde Baru, sejak 1966, dengan dipelopori oleh putera-putera terbaik Indonesia yang waktu itu terkenal sebagai Mafia Berkley, pemerintah berusaha memutus mata rantai vicious circle dengan melakukan pembangunan besar-besaran (The Big Push Theory) dengan cara membuka penanaman modal asing masuk ke Indonesia, mengundang PMA masuk, dan meminjam ke luar negeri (Bank Dunia, IMF, IRBD, dll.). Alasannya bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan dengan mengharapkan pertumbuhan tabungan masyarakat yang terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan. Perlu dilakukan investasi besar-besaran meskipun harus meminjam ke luar negeri.
Diawali dengan mengeluarkan Undang-undang PMA 1967 dan melalui berbagai negosiasi dengan negara-negara maju, melalui IGGI, dan terakhir dari CGI, pinjaman luar negeri masuk untuk membiayai pembangunan Indonesia, hingga tahun 2000 masih terus berlangsung. Sebab dalam APBN 1999/2000 jelas terlihat bahwa total pengeluaran untuk pembangunan sebesar Rp 82 triliun masih bersumber dari pinjaman berupa bantuan program Rp 47 triliun dan bantuan proyek Rp 30 triliun. Artinya kontribusi tabungan masyarakat untuk pengeluaran pembangunan hanya Rp 5 triliun atau ketergantungan Indonesia kepada luar negeri masih tinggi.
Secara teoritis alasan negara-negara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan itu mungkin dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya.
Struktur utang luar negeri Indonesia telah banyak mengalami perubahan selama tiga puluh tahun terakhir. Pada awalnya, sebagai negara yang baru berkembang, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta pinjaman lunak dan setengah lunak dari negara-negara sahabat dan lembaga supranasional, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman yang bersyarat lunak menjadi semakin terbatas sehingga pemerintah untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Selanjutnya, dengan semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah, peran swasta dalam perekonomian semakin meningkat. Hal ini berkaitan erat dengan langkah-langkah deregulasi di berbagai bidang yang ditempuh pemerintah terutama sejak tahun 1980-an. Besarnya minat investasi swasta, sementara sumber-sumber dana dalam negeri terbatas, telah mendorong swasta melakukan pinjaman ke luar negeri, baik dalam bentuk penanaman modal langsung dan pinjaman komersial maupun investasi portofolio dalam bentuk surat-surat berharga yang diterbitkan oleh swasta domestik. Persyaratan pinjaman luar negeri swasta, baik suku bunga maupun jangka waktu pada umumnya tidak lunak. 
Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkakan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah karena ekonomi nasional terlalu tergantung terhadap pinjaman luar negeri.
 
a.     Perumusan Masalah Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka dalam makalah ini diidentifikasikan ke dalarn pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana definisi dan ketentuan tentang Penanaman Modal Asing (PMA) menurut Undang-Undang?
Bagaimana Pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap ekonomi?
3. Bagaimana perkembangan utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun?
4. Bagaimana pengaruh utang luar negeri terhadap pembangunan ekonomi Indonesia?
B.    Sistematika Pembahasan Adapun untuk sistematika pembahasan meliputi; BAB I: Pendahuluan; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, dan Sistematika Pembahasan; BAB II: Kajian Teoritis; Definisi dan Ketentuan Penanaman Modal Asing Menurut Undang-Undang, Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia dari Tahun ke Tahun; BAB III: Kajian Analisis; Pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap ekonomi, Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pembangunan Ekonomi Indonesia.


BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Definisi dan Ketentuan Penanaman Modal Asing (PMA)
 
Dalam ketentuan umum Bab I Pasal 1 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal (UUPM) mendefinisikan Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut untuk pengaturan penanaman modal asing yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaannya dapat menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.
Ketentuan mengenai penanaman modal asing merujuk pada ketentuan dalam pasal lain dalam UUPM, yaitu pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa Penaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 13 Adapun mekanisme permodalannya dapat dilakukan dengan cara:
a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. Membeli saham; dan
c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Pengertian penanaman modal asing dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, hanyalah mencakupi penanaman modal asing yang bersifat langsung (foreign direct investment).


B. Penanaman Modal Asing (PMA)
Penanaman modal asing (PMA) merupakan aliran arus modal yang berasal dari luar negri yang mengalir ke sektor swasta baik yang melalui investasi langsung (Direct Investment) maupun investasi tidak langsung (Portofolio). (Suyatno, 2003;72)
 
Untuk membangun suatu perekonomian harus memiliki Social Overhead Capital yaitu proyek-proyek raksasa yang diperlukan untuk memperlancar bisnis dan perdagangan seperti jalan raya, rel kereta api, proyek irigasi dan bendungan, serta sarana kesehatan umum. Semua ini memerlukan investasi yang sangat besar yang cenderung bersifat sekaligus. Tidak ada seorang pun atau perusahaan kecil yang mampu membangun suatu sistem jalan raya. Tidak ada perusahaan yang bisa berharap mendapatkan laba jika dana yang diperlukan tidak mampu disediakan oleh pemerintah. Disinilah manfaat proyek investasi skala besar yang ke semuanya itu berasal dari luar negeri yang dapat menyebar ke seluruh perekonomian.
 
1. Investasi Langsung (Direct Investment)
 
Investasi langsung (Direct Investment) merupakan investasi yang melibatkan pihak investor secara langsung dalam operasional usaha yang akan di laksanakan, sehingga dinamika usaha yang menyangkut kebijakan perusahaan yang di tetapkan, tujuan yang hendak di capai, tidak lepas dari pihak yang berkepentingan (investor asing). Investasi langsung, langsung di perjual belikan di pasar uang (money market), pasar modal (capital market) dan pasar turunan (derivative market)
 
2. Investasi Tidak Langsung (Portofolio)
 
Investasi tidak langsung (portofolio) merupakan investasi keuangan yang di lakukan di luar negeri. Investor membeli uang atau ekuitas, dengan harapan mendapat manfaat finansial dari investasi tersebut. Bentuk investasi portofolio yang sering di temui adalah pembelian obligasi/perusahaan asing, tanpa kontrol manajemen di perusahaan investasi.
 
Pasal 37 ayat 1 UUPM mengisyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan sebelumnya masih diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPM yang baru dan selama belum diaturnya ketentuan yang berdasarkan UUPM yang baru. 16 Pasal ini membawah pengaruh penting, karena peraturan-peraturan pelaksana yang didasari oleh undang-undang sebelumnya masih dapat diberlakukan. Salah satunya adalah Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 10/SK/1985 Jo Keputusan Kepala BKPM No. 6/SK/1987 jo Keputusan BKPM No. 57/SK/2004 jo Peraturan Kepala BKPM No. 1/P/2008, mensyaratkan bahwa salah satu syarat permohonan penanaman modal asing adalah Arrangement of Joint venture Agreement yang harus disertakan dalam permohonan.
3. Joint Venture
Partisipasi modal nasional dalam perusahaan penanaman modal asing telah menjadi kecenderungan umum baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun negara-negara maju. Hal tersebut merupakan pencerminan nasionalisme di bidang ekonomi dan merupakan keinginan untuk menghindari ketergantungan pada dan kontrol asing terhadap perekonomian mereka.
 
Strategi termudah untuk dapat melakukan hak tersebut adalah pemberlakuan ketentuan keharusan adanya joint venture. Bagi pelaku usaha sendiri, joint venture merupakan salah satu cara efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha. Sebagaimana yang dikemukan oleh Ian Hewitt dalam bukunya Joint Venture: Joint venture are vital to business. They have become an important strategic option for many companies, particularly those operating internationally. Even the larges companies do not have capital, skill or market access necessary to achieve their commercial objectives entirely through their own recourse. Rarely a day passes without an announcement of a significant new joint venture or alliance.
 
Sedangkan istilah joint venture menurut Peter Muchlinski dalam bukunya yang berjudul Multinational Enterprise and the Law adalah sebagai berikut: “The term ‘joint venture’ has no precise legal meaning, it can refer to any agreement or undertaking between two independent firms. However, certain features are commonly associated with the concept. In particular, the joint venture involves the cooperation of two or more otherwise independent parent undertakings which are linked, through the venture, in the pursuit of a common commercial, financial or technical activity”.
 
Perjanjian joint venture tunduk dengan berbagai persyaratan yang diatur oleh hukum yang mengatur joint venture tersebut, sedangkan bentuk hukum dari joint venture tersebut dapat saja mengambil model perjanjian, persekutuan perdata, ataupun perseroan terbatas.
 
4. Joint Venture agreement
Istilah Joint Venture Agreement sengaja tidak diterjemahkan menjadi usaha patungan sebagaimana telah dikenal di Indonesia, hal tersebut bertujuan untuk tidak terjadi salah pengertian, karena usaha patungan sendiri dapat saja berbetuk joint venture, joint enterprise, kontrak karya, production sharing, penanaman modal dengan DICS-rupiah (Debt Investment Conversion Schema), penanaman modal dengan kredit investasi dan portofolio investment. Joint venture agreement atau biasa disebut perjanjian kerjasama patungan adalah suatu kontrak yang mengawali kerjasama joint venture, kontrak ini menjadi dasar pembentukan atau pendirian joint venture company.
 
Joint venture agreement dalam praktek lebih sering digunakan jika hal tersebut mengandung ketentuan yang lebih luas yang berkaitan dengan pendirian awal joint venture company, condition precedent, dan kontribusi business para pihak.
 
Lebih lanjut dijelaskan Muchlinski, bahwa joint venture agreement antara perusahaan mengatur mengenai pengendalian perusahaan, proporsi modal, pengaturan pembagian keuntungan, bentuk hukum dari joint venture, serta pengaturan mengenai pengakhiran perjanjian.24
5. Joint Venture Company
 
Henry Campbell Black mengartikan Joint Venture Company merupakan sebuah asosiasi dari orang-orang untuk melakukan sebuah usaha bisnis untuk memperoleh keuntungan, untuk mengkombinasikan aset mereka berupa uang, saham, keahlian dan pengetahuan yang dimiliki. 25 Joint Venture Company merupakan perusahaan yang pemegang sahamnya dimiliki oleh mereka yang mengadakan perjanjian joint venture.

C. PMA DAN INVESTASI
Dengan disepakatinya General Agreement on Tarif and Trade ( GATT ) di Uruguay Arround tahun 1994, dan kemudian menjadi Word Trade Organization (WTO ) dapat dikatakan merupakan cikal awal akan terjadinya arus investasi secara besar besaran antar negara dimasa masa tahun mendatang, khususnya dari negara negar maju kenegara negara berkembang yang kemudian terkenal dengan sebutan era globalisasi. Salah satu hal yang berkaitan dengan kesepakatan GATT-WTO yang dimaksud yaitu mengenai perdagangan investasi yang disebugut dengan Trade Invesment Measure (TRIMs). Dalam TRIMs tersebut ditentukan bahwa setiap negara penandatangan persetujuan TRIMs tidak boleh membedakan antara modal dalam negeri dan modal asing. Hal ini berarti bahwa undang undang penanaman modal setiap negara peserta tidak boleh lagi membedakan adanya modal asing dan modal dalam negeri.
 
Dari ketentuan yang termuat dalam TRIMs tersebut, dapat kita simak bahwa membicarakan penanaman modal asing tidak lepas hubungannnya dengan kegiatan perdagangan internasional, karena setiap kegiatan penanaman modal selalu berbarengan dengan jalur perdagangan barang dan jasa yang dihasilkan (dua kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain). Dengan demikian berbicara mengenai penanaman modal asing tidak dapat dipisahkan dengan masalah perdagangan internasional. Mengatur penanaman modal asing, dalam hal ini sudah pasti sekaligus mengatur perdagangan internasional, tetapi disisi lain mengatur perdagangan internasioanal belum tentu secara otomatis mengatur tentang penanaman modal asing.
 
Oleh karena itu ada prinsip-prinsip perdagangan internasional yang secara umum dapat berlaku terhadap semua perdagangan termasuk didalamnya penanaman modal, tetapi ada juga peraturan yang hanya spesifik untuk penanaman modal asing langsung (foreign direct investment). Pasal 3 TRIMs agreement, disebutkan bahwa semua pengecualian yang diatur dalam GATT WTO juga berlaku untuk perjanjian TRIMs tersebut.
Sebagaimana diatur dalam GATT-WTO, adapun prinsip-prinsip perdagangan internasional yang telah menjadi prinsip penanaman modal asing dan wajib dijabarkan didalam pengaturan penanaman modal di host country, yaitu dikenal dengan Non Discriminatory Principle. Non discriminatory principle (prinsip kesetaraan), didasarkan pada alasan bahwa negara penerima invcestrasi modal asing (host country) dengan menggunakan argument argument tertentu, sering memberikan perlakuan yang berbeda / diskriminasi kepada investor asing dengan berbagai cara.
 
Prinsip Non Discriminatory Principle tersebut kemudian dipecah menjadi dua prinsip utama, yaitu : a. The Most Favoured Nation ( MFN ) Principle. Prinsip MFN merupkan prinsip kesetaraan, yaitu adanya perlakuan yang sama terhadap semau PMA yang masuk kesuatu wilayah suatu negara tertentu, baik yang berkaitan dengan perjanjian bilateral dan maupun multilateral yang dituangkan dalam undang undang PMA.
b. National Treatment Principle ( NTP). National Treatment Principle (NTP), yaitu tentang perlakuan yang sama oleh host country terhadap PMA dan PMDN. PMA yang masuk kesuatu Negara tertentu untuk mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan NTP, dalam hal ini PMA tersebut harus didirikan dan tunduk pada hokum yang berlaku di host country.
Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat ditrik permasalahan utama, yaitu bagaimana menciptakan daya tarik investasi di Indonesia sehubungan dengan GATT- WTO dan iklim invesatasi yang menarik bagi investor dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia.
 
Banyak teori-teori yang berkaitan dengan PMA, dan salah satu diantaranya adalah teori yang dikemukakan oleh Vernon dan Stephen Hymer (1966, 1977), yang dikenal dengan teori : “The Product Cycle Theory dan The Industrial Organization Theory of Vertical Integration“. Teori ini menurut hemat kami dapat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan mengapa ada perdagangan modal asing dari suatu negara kenegara lain, khususnya dari negara maju ke negara berkembang.
 
1. The Product Cycle Theory (Teori siklus produk)
Menurut teori ini, umumnya merupakan suatu usaha ekspansi awal dari perusahaan perusahaan negara maju dengan mendirikan pabrik untuk memproduksi barang-barang yang sama/sejenis dinegara lain termasuk negara berkembang. Hubungan antara induk perusahaan dengan pabrik sejenisnya diluar negerei disebut “Horizontaly Integreated”. Teori ini mengemukakan bahwa setiap teknologi atau proses produksi, biasanya dilakukan melalui tiga fase, yaitu : Pertama, fase permulaan, Kedua, fase perkembangan proses, dan Ketiga, fase standardisasi (pematangan).
Pada setiap fase tersebut, setiap tipe perekonomian negara mempunyai keunggulan komperatif atau comperative advantage didalam memproduksi barang atau komponen komponen produksinya. Fase pertama umumnya bertempat dinegara industri paling maju (seperti Inggris pada abad ke 19, Amerika Serikat pada awal paska perang dunia ke II, dan Jepang pada akhir abad ke 20). Perusahaan perusahaan tersebut biasanya memegang posisi oligopoli di negara masing masing dan hal ini mengakibatkan perushaan perusahan mempunyai keunggulan komparatif didalam mengemnagkan produk produk baru dan juga dalam proses industrinya karena permintaan pasar dalam negeri cukup besar, serta ketersediaan sumber sumber produksi (termasuk pemodalan) untuk aktifitas inovatif Fase inovatif membutuhkan dana cukup besar, karena diperlukan trial and error untuk setiap proses produksi sampai diperoleh hasil yang layak untuk dipasarkan.
Pada fase awal tersebut, perusahaan perusahaan dinegara-negara maju mempunyai posisi monopoli, karena memiliki kemampuan teknologi yang belum tersaingi. Oleh karena permintaan pasar dari luar negeri atas produk mereka meningkat, perusahaan tersebut kemudian meningkatkan ekspor produk keluar negeri. Proses perkembangan muncul sebagai dampak dari penyebaran produk tersebut keluar negeri, sekali gus akan menyebabkan penyebaran teknologi keluar negeri, dan hal ini lama kelamaan muncul pesaing luar negeri yang cukup potensil. Pesaing pesaing tersebut dengan bekerjasama dengan pemerintahnya, mampu membuat rintangan-rintangan atau trade barrier yang kemudian secara tidak langsung dapat “memaksa” perusahaan-perusahaan dinegara maju untuk memproduksi barang-barang yang sama diluar negeri. Hal ini berarti mau tidak mau mereka harus mendirikan pabrik atau cabang perusahaan diluar negeri termasuk dinegara-negara berkembang. Akibatnya proses manufacturing dan tempat produksi cenderung berkembang diluar negeri yang merupakan awal aliran modal aisng tersebut. Akhirnya dalam fase ketiga, dibuatlah standarisasi proses manufacturing yang memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke negara-negara sedang berkembang, terutama negara industri baru ( Newly Industrializing Countries / NICs) yang mempunyai keunggulan komperatif berupa tingkat upah yang rendah Produk-produk dari NICs ini pun kemudian diekspor ke pasar global.
Pada intinya dapat disimpulkan, Product Cycle Theory, membantu menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli, perkembangan dan penyebaran teknologi industri yang merupakan unsure-unsur penentu utama terjadinya perdagangan internasional serta penempatan lokasi loksi aktifitas ekonomi secara global melalui investasi serta strategi perusahaan yang mengimplementasikan perdagangan dan lokasi produksi diluar negeri.
2. The Industrial Organization Theory Vertical Integration
Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal banyak diterapkan pada New Multinationalism Country ( Negara Multinasinal Baru) dan pada investsi yang terintegrasi secara secara vertikal, yaitu produksi barang-barang dibeberapa pabrik lain menjadi input bagi pabrik-pabrik lain dari perusahaan sejenis. Teori ini berawal dari pemahaman bahwa biaya untuk melakukan bisnis diluar negeri dengan investasi langsung dan maupun tidak langsung harus memperhitungkan biaya lain yang harus ditanggung perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus memiliki beberapa keunggulan kompensasi yang spesifik atau “Compesating Advanteges", seperti keunggulan teknis managerial, keadaan perekonomian yang memungkinkan perolehan sewa secara monopoli bagi perusahaannya dinegara-negara lain. Menurut teori ini investasi dapat dilakukan dengan integrasi secara vertikal, dengan menempatkan beberapa tahapan produksi dibeberapa lokasi yang berbeda diseluruh dunia. Motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang rendah, memanfaatkan kebijakan pajak lokal, juga untuk membuat “ rintangan perdagangan” bagi perusahaan lain.
 
3. Paket 23 Oktober 9883 ( Pakto 1993) dan Paket Deregulasi 1994.
Pada intinya Paket 23 Oktober 1993 merupakan peluang yang memudahkan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yaitu yang meliputi 5 bidang usaha, yaitu: ( i) Bidang ekspor, (ii) Bidang penanaman modal asing, (iii) Bidang perizinan untuk invesatasi, (iv) Bidang Kesehatan dan ( v) Bidang penyederhaaan prosedur amdal.
 
Nampaknya dengan keluarnya Paket tersebut ternyata disambut baik oleh investor asing, hal ini terbukti perusahaan Jepang, Korea dan Korindo Grup dengan tiga perusahaan Indonesia melakukan realisasi investasinya di Indonesia sebesar US $ 40 juta untuk membangun pabrik kimia di Jawa Barat ( Cileungsi – Kompas 27 Oktober 1993 ). Indikator lainnya atas pengaruh dengan keluarnya Pakto 1993, dapat dilihat dari catatan yang ada di BPKN ( Harian Ekonomi Neraca, 20 September 1993 ) menunjukkan dalam periode April – Agustus anggaran tahun 1993/1994, BPKM telah menyetujui untuk PMA sebanyak 126 proyek dengan nilai US $ 2.168,5. Hal ini bila dibandingakan dengan tahun sebelumnya ( sebelum Pakto ) dalam periode yang sama, terjadi kenaikan nilai investasi sebesar US $ 271,8 juta ( naik 14 %).
Perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1994, pemerintah mengeluarkan deregulasi dengan tujuan untuk dapat lebih menarik investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Beberapa hal yang penting sehubungan dengan dikeluarkannya Deregulasi tersebut, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no.24 tahun 1994, yaitu :
a. Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk :
1) Usaha patungan antara modal asing dengan modal modal dalam negeri atau badan hukum Indonesia, dengan ketentuan peserta Indonesia harus memiliki paling sedikit 5 % dari jumlah modal disetor sejak pendirian perusahaan PMA
2) Atau investasi langsung dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan atau badan hukum asing, dengan ketentuan dalam waktu paling lama 15 sejak produksi komersil sebagian saham asing harus dijual kepada warga Negara dan atau badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak dan atau melalui pasar modal. Dengan demikian persyaratan pemilikan saham lokal mayoritas yang berlaku sebelum deregulasi telah dihapus.
b. Ketentuan investasi minimum bagi PMA ditiadakan. Jumlah investasi yang ditanamkan dalam rangka PMA diterapkan berdasarkan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.
c. Perusahaan PMA yang sudah berproduksi komersil dapat mendirikan perusahaan baru dan atau membeli saham perusahaan yang didirikan berdasarkan PMDN dan atau bukan PMDN melalui pemilikan langsung, sepanjang bidang usaha dari perusahaan yang sahamnya dibeli tersebut dinyatakan terbuka bagi PMA
d. Kegiatan usaha PMA dapat berlokasi diseluruh Indonesia, namun bagi daerah yang telah memiliki Kawasan Berikat (Kawasan Industri, lokasi kegiatan PMA tersebut diutamakan didalam kawasan tersebut).
e. .Izin usaha PMA berlaku untuk jangka 30 tahun dihitung sejak produksi komersil, dan dapat diperpanjang apabila perusahaan yang dimaksud masih tetap menjalankan usahanya yang bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan nasional.

4. Motif investasi Negara maju
Dari hasil penelitian Edward K.Y. Chen (Chen, 1981 : 20-23) dikemukakan terdapat 17 motivasi investasi Negara maju kenegara penerima modal atau negara berkembang. yaitu :
a. Lower cost and rent
b. Lower labour cost
c. Diversification of risk
d. To make fuller use of the technical and production know- how developed or adapoted by investee
e. To avoid or reduce the pressure of competition from other corporation in investee countries.
f. To make use outdated machinery used in the investee corporation
 
g. Higher rates of profits
h. Avalability of higher levels of technology
 
i. Lower capability
 
j. Defending the existing market by directly investing there.
k. To build up a vertically integrated structure
 
l. To circumvent tariff s and quotas imposed by develop contries
 
m. Establishing a subsidiary overseas is similar to investing in financial market overseas
 
n. Availability of technical and skilled labour force
 
o. Availability of management manpowert
 
p. To open up new markets by directly investing there
 
q. Availability of raw materials and or intermediate products.
 

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran modal, skill dan teknologi.
Pada umumnya faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya aliran modal, skill dan teknologi dari negara maju kenegara berkembang, pada dasarnya dipengaruhi oleh lima (5) Faktor-faktor utama. Adapun Faktor-faktor yang dimaksud, yaitu meliputi :
 
a. Adanya iklim penanaman modal dinegara negara penerima modal itu sendiri yang mendukung keamanan berusaha (risk country), yang ditunjukkan oleh stabilitas politik serta tingkat perkembangan ekonomi dinegara penerima modal
 
b. Prospek perkembangan usaha dinegara penerima modal
 
c. Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan
d. Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relative murah serta potensi pasar dalam negara penerima modal
e. Aliran modal pada umumnya cenderung mengalir kepada negara-negara yang tingkat pendapatan nasionalnya perkapita relatif tinggi.
 
6. Hubungan antara antara negara maju ( sebagai pembawa modal) dengan negara berkembang sebagai penerima modal asing.
 
Secara umum dapat dikatakan terdapat hubungan ketidakseimbangan antara negara maju sebagai pembawa modal dengan negara berkembang sebagai penerima modal. Hubungan tidak seimbang tersebut disebabkan oleh beberapa hal utama ( Streeten, 1980 : 251 ), yaitu :
 
a. Pemodal asing selalu mencari keuntungan (profit oriented), sedangkan negara penerima modal mengharapkan bahwa modal asing tersebut dapat membantu tujuan pembangunan ekonomi nasional atau sebagai pelengkap dana pembangunan
b. Pemodal asing memiliki posisi yang lebih kuat, sehingga mereka mempunyai kemampuan berusaha dan kemampuan berunding yang lebih baik
 
c. Pemodal asing biasanya memiliki jaringan usaha yang kuat dan luas, yaitu dalam bentuk Multinasional Corporatioan. Perusahaan ini pada dasarnya lebih mengutamakan melayani kepentingan negara dan pemilik saham dinegara asal daripada kepentingan negara penerima modal.
d. Tentunya ketidakseimbangan tersebut menjadi tantangan bagi negara-negara penerima modal asing termasuk Indonesia, yaitu bagaimana mengatasi ketidak seimbangan yang dimaksud dalam rangka usaha menarik investor asing. Dalam menghadapi tantangan yang dimaksud negara penerima modal asing pada umumnya dan Indonesia khususnya harus dapat mengupayakan melalui hal hal sebagai berikut :
• Dapat mengakomodasi motif profit oriented dari pemodal asing dengan sebaik-baiknya, sehingga filosofi sebagaimana tertuang dalam UU PMA yang mengatakan bahwa masuknya modal asing hanyalah bersifat pelengkap dana pembangunan tidak menjadi suatu kendala yang menghambat arus masuknya investasi modal asing tersebut.
• Mengupayakan agar hubungan antara pemodal asing dengan penerima modal teap diarahkan pada kemitraan yang dapat saling membangun, sehingga sumber luar negeri dari pinjaman luar negeri tetap dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi secara optimal.
• Negara penerima modal harus dapat mengembangkan potensi ekonominya secara akurat, serta mampu menjaring informasi mengenai kegiatan usaha penanaman modal dalam rangka peningkatan kemampuan dan posisi bargainingnya dalam mengahadapi pemilik modal asing,
 

7. Usaha Pemerintah Indonesia dalam rangka menarik modal asing
 
Sehubungan dengan daya usaha Pemerintah untuk menarik modal asing ke Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan setiap peraturan peraturan yang berkaitan dengan PMA, pada intinya harus berorientasi pada hal hal yang mendasar yang umumnya diinginkan oleh semua pihak pemilik modal asing, yaitu :
• Adanya peraturan peraturan kebijaksanaan mengenai penanam modal asing yang konsisten dan yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin kepastian hukum. Ketidakpastian hukum dan cepat berubah akan meyulitkan perencanaan usaha meraka didalam jangka panjang.
• Prosedur perizinan yang jelas dan tidak berbelit yang dapat mengakibatkan high cost economy (tidak dapat berproduksi secara efisiensi ekonomis).
• Jaminan terhadap investasi mereka serta adanya perlindungan hukum terhadap hak milik investor.
Selain hal diatas, faktor lain yang harus diperhatikan dan atau disiapkan oleh pemerintah, yaitu tersedianya sarana dan prasarana yang dapat menunjang pelaksanaan investasi mereka dengan baik (komunikasi, transportasi, perbankan dan perasuransian).
8. Kondisi perkembangan arus investasi di Indonesia.
 
Perkembangan realisasi investasi di Indonesia sejak munculnya krisis politik pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjadi krisis ekonomi yang berkepenjangan sampai saat ini, serta masalah faktor lainnya seperti masalah teroris, birokrsi pemerintahan, korupsi dan lain-lain membawa dampak yang tidak menggembirakan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Indikator akibat hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan antara rencana investasi yang telah disetujui sejak tahun 1997 dengan realisasi dari tahun ketahun sampai dengan Oktober 2007. Berdasarkan data yang dikeluarkan BKPM, perkembangan arus investasi PMA tersebut dapat dilihat pada tabel I sebagai berikut.
 
Tabel I
Perkembangan Investasi Modal Asing ( PMA)
Tahun Direct
Planning Investment
Approvels Direct
Realization Investment
Poroject Value (US$ Million ) Poroject Value (US$ Million)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
778
958
1,179
1.613
1.390
1.254
1.247
1/248
1.649
1.718
1.608 33,665.7
13,635.0
10,894.3
16.038.6
16,375.4
10.020.1
14,364.1
10,469.7
13,635.6
15,659.1
36,751.0 331
412
504
638
454
444
571
546
909
867
842
3,473.4 (13% )
4,865.7 ( 36 %)
8,229.9 ( 76 %)
9,877.4 ( 62% )
3,509.4 ( 21% )
3,091.2 ( 30 %)
5,450.6 ( 39 % )
4,602.3 (45 %}
8,914.5 (66 % )
5,977.0 (38 %)
9,079.6 (27 % )
Sumber : Website BKPM ; Http // www.bkpm,go.id, October 2007.
 
*) Data sementara s/d Oktober
Dari data tabel I dimuka, dapat kita simak pada tahun 1997, realisasi PMA hanya 13 % dari komitment yang telah disetujui dan kemudian menaik menjadi 76 % pada 1999. Kemudian mulai tahun 2000 s/d tahun 2007 realisasi yang dimaksud berada dibawah tahun 1999. Pada tahun 2000 hanya sebesr 62 %, dan kemudian tahun 2001 s/d tahun 2004 turun sangat drastis dilihat dari komitment investasi tiap tahun yang telah disepakati, yaitu berkisar antara 21 % sampai 45 %. Pada tahun 2005 realisasi PMA naik menjadi 66% dari komitment yang telah disetujui pada tahun yang bersngkutan, dan pada tahun 2006 dan 2007 realisasi PMA tersebut dilihat dari komitment PMA yang telah disepakati mengalami penurunan yang cukup signifikn, yaitu hanya sebesar 38 % dan 27 % dari total komitment PMA. Dapat disimpulkan rendahnya realisai PMA yang dimaksud dibandingkan dengan komitment investasi modal asing yang telah disepakati, disebabkan terutama oleh faktor keamanan berusaha yang tidak kunjung dapat dijamin oleh Pemerintah ( risk country yang cukup tinggi ). Indikator penyebabnya dapat diduga terutama karena faktor risk country yang cukup tinggi , seperti adanya peledakan bom secara sporadis diberbagai kota di Indonesia sejak tahun 2000. Kemudian peledakan bom secara seporadis tadi disusul dengan peledakan bom di Balai pada Oktober tahun 2005 yang terkenal dengan bom Bali I dan II, yang merupakan ancaman baik tingkat nasional, regional dan maupun global.Dikatakan ancaman bersifat global, karena pasca bom Bali tersebut sejumlah Negara di dunia telah memperlakukan “Travel Bon", yaitu suatu bentuk pelarangan kepada warga negaranya untuk tidak berkunjung ke Indonesia. Keadaan tersebut ditambah lagi dengan birokrasi pemerintahan yang menyebabkan perushaan perusahaan tidak dapat berusaha secra efesiensi ekonomis, korupsi, tidak adanya kepastian hukum, dan gejolak social dimasyarakat sebgaimana telah dikemukakan sebelumnya.
9. Tantangan kebijakan investasi yang dihadapi Indonesia
Sampai saat ini dan mungkin juga ditahun tahun mendatang, Indonesia menghadapi tantangan yang cupuk signifikan pengaruhnya terhadap arus investasi modal asing ke Indonesia, apabila hal tersebut diatas tidak diatasi segera mungkin. Adapun tantangan yang dimaksud berasal dari dalam negari dan luar negeri.
a. Tantangan dari dalam negeri
Pertama, adanya berbagai keterbatasan yang meliputi pemodalan, sumberdya manusia (skill) dan teknologi, Disi lain Indonesia harus dapat memenuhi target target pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatn masyarakat, penurunan tingkat penganggurn, peningkatan jumlah ekspor, penurunan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan dan lain lain.
Kedua, menciptakan kondisi iklim usaha di dalam negeri, yang meliputi peraturan peraturan atau kebijkan kebijakan yang mendukung terciptanya iklim berusaha yang menarik bagi modal asing ( investor luar negeri ) disertai dengan adanya jaminan keamanan berusaha di Indonesia oleh Pemerintah. Yang menjadi pertanyaan apakah peraturan peraturan atau kebijkan kebijakan yang sudah ada sesuai dengan keinginan investor sebgaimana telah dikemukakan sebelumnya, telah dapat memberikan kemudahan kemudahan berusaha bagi pemilik modal luar negeri.
Sebgai gambaran berdasarkan Word Investmnt Report ( WIR ) 2004 berdasrkan 12 variabel penilaian dan politk (Harian Kompas 23 September 204 ) Indonesia berada pada urutan ke 139 dari 144 negara yang diminati modal asing untuk melakukan investasi di Indonesia,. Menurut laporan trsebut posisi Indonesia jauh lebih buruk dari beberap Negara Asean dan beberap Negara dikawsan Asia. China berada diposisi ke 37,Vietnam di urutan ke 38, Malayasia urutan ke 75, Myanmar ke 85, Thailand ke urutan 87, Thailand pada urutan ke 117 dan Pilipina berada pada urutan ke 96. Berdasarkan laporan “Indonesia Financial Statistics “ ( beberapa terbitan berturut s/d February 2005 ) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan WIR, dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu satunya negra ASEAN yang mengalami arus PMA negative sejak krisis politik dan ekonomi 1998 walaupun hal ini cenderung mengecil pada tahun 2003 (sebagaimana terliht pada Tabel II). Hal ini berarti terjadi re-lokasi investasi oleh pemilik modal asing keluar negeri termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, terutama perbankan sehubungan dengan penjualan asset-asset Bank ke investor asing.
 
Tabel II
Arus PMA ke Indonesia
Tahun Nilai ( US $ juta)
1998
1999
2000
2001
2002
2003 - 356
- 2.745
- 4.4550
- 2.978
- 145
- 597

b. Berasal dari luar negeri.
Pertama, pada abad ke 21 ini, perekonomian dunia semakin bersifat global, persaiangan dalam mengisi pangsa pasar dunia berada dalam kondisi hiperkompetitif, dan arus modal bebas masuk kenegara manapun. Disisi lain terjadi “ Technical gap“ diantara Negara-negara maju dengan negara-negara berkembang termasuk dalam hal Indonesia. Hal ini akan semakin melebar apabila Negara Indonesia tidak segera dengan cepat mempersiapkan diri dengan mempercepat pengembangan SDM dan IPTEK. Sadar atau tidak sadar, arus investasi yang umumnya dibungkus dengan perjanjian alih teknologi, skill dan knowledge pemilik modal asing dalam hal ini tetap berdasarkan pertimbangan profit. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia tanpa meningkatkan SDM dan IPTEK sendiri dengan jalan metode trial dan error, pasti tidak akan dapat mempersempt technological gap yang dimaksud.
Kedua, adanya perubahan perubahan yang begitu cepat terjadi dikawsan Asia dan Asia Pasifik sebagai akibat semakin cepat terlaksannanya kesepakatan kesepakatan multilateral beberapa Negara, seperti AFTA dan APEC disektor perdgangan dan investasi. Nampaknya peluang tersebut tidak akan dapat dimanfaatkan Indonesia, apabila tidak berbenah diri dengan cepat dibidang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat menarik minat modal asing untuk berinvestasi di Indonesia.
 
10. Iklim investasi di Indonesia dalam era Otonomi Daerah
Bertitik tolak pada UU No, 22 Tahun 1999 yo UU No.34 yaitu tentang Otonomi Daerah, telah diatur dalam undang-undang tersebut; Bahwa Pemerintah Kota dan Kabupaten dapat langsung mengadakan perjanjian dalam rangka penanaman modal baik antar daerah dan maupn dengan pihak asing. Yang menjadi pertanyaan, mampukah daerah dengan cepat berbenah diri dan mengntisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi agar dapat langsung mengundang modal asing untuk menanamkan modalnya didaerah yang bersangkutan. Hal ini erat kaitnya dengan kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan otonomi derah trsebut. Menurut Gaffar Karim cs ( Editor 2003 ) ada beberapa masalah yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, diantaranya: (1) Mengenai hubungan pusat dan daerah yang berkaitan dengan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah, (2) Persoalan desentralisasi semu akibat logika logika kepartaian yang masih sangat sentralis, (3) Persoalan penataan politik local dan menguatnya daerhisme, (3) Problematika hubungan antar daerah yang menambah ruwet kompleksitas otonomi daerah, (4). Problematika hubungan eksekutif dan legislative didaerah, dan (5) Persoalan yang berkaitan dengan penataan institusi dan mekanisme lokal.
 
Kompleksitas permasalahan tersebut akan dapat menjadi suatu constrains bagi daerah daerah dalam usaha menciptkan keadan iklim investasi, ditmbah lagi kurangnya sumberdya manusia yang memiliki skill dan maupun knowledge yang diperlukan untuk mendukung suatu kegiatan investasi,
Suatu contoh bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan masalah baru dalam rangka kebijakan PMA pada akhir akhir, yaitu masalah : “Spin of Semen Gresik dengan Semen Padang “ , dimana adanya keinginan Semen Tonasa dan Semen Padang untuk memishkan diri dari Semen Gresik, sedangkan disisi lain Semen Gresik sudah go Internasioanal dengan masuknya Cemek ( investor dari Meksiko ). Nampaknya restrukturisasi BUMN akan bertentngan dengan hal tersebut. Masalahnya yang lebih lanjut, dengan dipisahkannya Semen Tonasa dan Semen Padang dari Semen Gresik, bagaimana hubungannya dengan Comex tersebut sehubungan dengan saham mereka. Masalah selanjutnya yang muncul, seandainya pemisahan yang dimaksud terlakasana, apakah ke depan daerah sudah mampu memanage sendiri perushaan tersebut.
 
Dari uraian tersebut dimuka, tampaknya otonomi daerah sampai saat ini masih menghadapi banyak persoalan sendiri dikaitkan dalam konteks kebijkan investasi dan penciptaan iklim investasi yang menarik- Oleh sebab itu masing masing daerah mau tidak mau harus segera membngun terciptnya kepercaan pasar ( market confidene ) dan mencitakan iklim yang condunsif yang mendorong arus investsi yang lebih stabil dan berjangka panjang. Hal ini sangat penting mengingat sampai saat ini Indonesia masih tetap dinilai memiliki tingkat “country risk “ yang cukup tinggi bagi masuknya modal asing.
D. Utang Luar Negeri (ULN)
 
Pada umumnya negara-negara berkembang membutuhkan utang dari luar negeri untuk menutupi kesenjangan antara tabungan domestik dengan kebutuhan investasinya, serta kesenjangan antara ekspor dan impornya. Kemampuan dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan oleh sebab itu dibutuhkan utang luar negeri.
Besarnya utang luar negeri pemerintah setiap tahunnya disesuaikan dengan kebijakan pembangunan yang direncanakan pemerintah, pengeluaran apa saja yang dibutuhkan dan seberapa besar sumber penerimaan dalam negeri mampu membiayai pembangunan tersebut untuk mencapai tujuan pemerintah.
Kebijakan pemanfaatan utang luar negeri selalu didasarkan kepada arahan pokok, yaitu bahwa dana luar negeri masih tetap dimanfaatkan untuk melengkapi sumber pembiayaan dalam negeri. Pemanfaatan utang luar negeri didasarkan atas beberapa kriteria pokok meliputi :
- Utang luar negeri tidak dikaitkan dengan ikatan-ikatan politik.
- Syarat-syarat pembayarannya harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali.
- Penggunaan utang luar negeri harus ditujukan untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.



1. Model dua kesenjangan (two gap model).
Sumber keuangan dari luar (baik hibah maupun pinjaman) dapat memainkan peranan yang penting dalam usaha melengkapi kekurangan sumber daya yang berupa devisa atau tabungan domestik. Pendekatan ini yang disebut Model dua kesenjangan (two gap model). Argumen inti model ini mengatakan bahwa negara-negara berkembang menghadapi kendala berupa keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari mencukupi untuk menggarap segenap peluang investasi yang ada, serta kelangkaan devisa yang tidak memungkinkannya mengimpor barang-barang modal dan antara yang penting bagi usaha pembangunannya. Secara matematis, model dua kesenjangan dapat dirumuskan sebagai berikut :
 
Kesenjangan atau kendala tabungan, yaitu :
I < F + sY (1) Dimana : F = arus pemasukan modal S = selisih antara eksport dan import Seandainya nilai F ditambah sY lebih besar daripada I dan perekonomian itu tengah dalam kondisi full employment, maka bisa dipastikan bahwa tengah terjadi kesenjangan tabungan di negara tersebut. Kesenjangan atau kendala devisa. ( m1 – m2 )I + m2Y – E ≤ F (2) dimana : E = tingkat ekspor eksogen m1 = marginal import share m2 = marginal propensity to import Jika E, F, dan Y di atas diberi nilai eksogen, maka salah satu dari kedua ketidaksamaan diatas yang akan menjadi faktor penghambat. Tingkat Investasi dan tingkat pertumbuhan output akan tertekan menjadi lebih rendah oleh salah satu ketidaksamaan tersebut. Dengan demikian dari penerapan rumus tersebut setiap negara akan dapat diketahui masalah utamanya, apakah itu kesenjangan tabungan atau kesenjangan devisa. Hal lain yang lebih penting menurut sudut analitis utang luar negeri ini adalah dampak peningkatan arus pemasukan modal akan lebih besar di negara yang mengalami kesenjangan devisa. Namun hal ini tidak berarti bahwa negara-negara yang mengalami kesenjangan tabungan tidak membutuhkan bantuan luar negeri. Model kedua kesenjangan ini hanya merupakan suatu metodologi yang bersifat bergaris besar untuk menentukan kebutuhan serta kemampuan relatif dari masing-masing negara berkembang dalam menggunakan utang luar negerinya secara efektif. 2. Ricardian Equivalence (RE) Secara teoritis, ekonomi makro klasik mengenal konsep Ricardian Equivalence (RE). Premis dasarnya, utang pemerintah bersifat netral, tidak mempunyai efek terhadap suku bunga, investasi, perdagangan, inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsekwensinya tidak terdapat efek redistribusi pendapatan. Ini memunculkan pemeo “ there is no burden of the national debt” Dalam konteks utang luar negeri, teori ini berpandangan, kalau pembangunan tidak dibiayai dengan utang luar negeri, maka sumber dana yang diambil dari dalam negeri. Artinya masyarakat harus membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga pendapatan disposable merosot. Akibatnya, konsumsi domestik berkurang maka pertumbuhan pun terhambat. Secara teori argument tersebut di atas dibantah oleh analisis “there is a burden of the national debt” Maksudnya, utang pemerintah mencerminkan pengeluaran yang dibiayai defisit anggaran, sehingga konsumsi domestik naik berlebihan, yang akan mendorong suku bunga dan inflasi jangka panjang naik. Karena penerapan good governance tidak berjalan, sementara para kreditor terutama Bank Dunia, gagal menerapkan prinsip prudensial, tingkat kebocoran pun tinggi. Akibatnya, untuk negara miskin seperti Indonesia RE cenderung tidak cocok.. 3. Utang Najis (Odious Debt) Konsep Utang Najis (Odious Debt) diperkenalkan oleh Alexander Nahum Sack , yaitu mengatakan “ if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the state, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that fights against it, etc this debt is odious for the people of the state. This debt is not an obligation for the nation; it is regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it fall of this power.” 4. Komposisi Jenis Utang Luar Negeri Selama ini terlanjur berkembang anggapan keliru dalam persoalan utang luar negeri, Indonesia seolah-olah menerima kucuran dana segar dari seluruh komitmen utang luar negeri yang diterimanya. Padahal hal ini tergantung pada bentuk/jenis-nya. Secara umum Utang Luar Negeri dibagi 3 jenis : a. Bantuan Program Bertujuan menunjang neraca pembayaran dan anggaran pembangunan. Bantuan dalam bentuk devisa ini akan menunjang neraca pembayaran dalam usaha memenuhi kebutuhan impor, sedangkan nilai lawan rupiahnya dimasukkan dalam kas negara. b. Bantuan Proyek Dapat berbentuk hibah atau pinjaman dan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan proyek pembangunan baik dalam rangka rehabilitasi, pengadaan barang/peralatan dan jasa, perluasan ataupun pengembangan proyek baru. c. Bantuan Teknis Seluruh utang luar negeri yang diberikan negara/lembaga pemberi bantuan dalam bentuk jasa keahlian dan fasilitas pelatihan dengan tujuan untuk mempercepat proses alih teknologi dan ketrampilan. Umumnya dalam bentuk hibah. Dari ke-3 jenis ini, hanya pinjaman dalam bentuk Bantuan Program dan Bantuan Teknis yang berupa block grant dan dalam bentuk tunai (in cash). Arus kas masuk dapat langsung digunakan Indonesia dengan bebas, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keperluan bangsa Indonesia sendiri. Sementara, bantuan proyek biasanya adalah fasilitas berbelanja secara kredit ke negara-negara pemberi utang. Oleh sebab itu jenis penggunaan bantuan ini biasanya terkait langsung dengan proyek-proyek fisik yang telah disepakati dalam perjanjian utang dengan pihak lender. Karena, komposisi utang luar negeri, 80% berbentuk bantuan proyek maka semakin besar volume utang baru yang dibuat, semakin besar volume barang dan jasa para kreditor yang akan terjual di Indonesia. Jadi tidak heran, bila pihak kreditur selama ini seolah-olah bermurah hati memberikan dana utang luar negeri yang begitu besar kepada pemerintah Indonesia. Dengan latar belakang motivasi seperti itu, tidak aneh bila sebagian inisiatif pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai utang luar negeri justru datang dari para pengusaha negara-negara kreditor. Mereka telah sibuk melobi para pejabat Indonesia untuk mengegolkan sejumlah proyek yang hendak dibiayai utang luar negeri jauh sebelum RAPBN disusun. Sudah menjadi rahasia umum, aktivitas lobi para pengusaha negara kreditor ini biasanya diwarnai oleh transaksi suap-menyuap yang berujung pada dilakukannya mark-up terhadap nilai proyek yang mereka usulkan. Mereka bahkan tidak peduli jika proyek tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan bagi daerah-daerah di Indonesia . Maka tidak heran pula, jika didapati temuan di lapangan, ada proyek yang tidak dapat dimanfaat setelah dilaksanakan. Misal: pengadaan alat-alat kesehatan di Rumah Sakit di daerah terpencil tidak bisa dimanfaat karena tidak ada sumber daya manusia di tempat itu yang bisa mengoperasikan atau dalam proyek lain, yaitu mesin pengolahan sampah tidak berfungsi ketika digunakan karena spesifikasi mesin pengolahan sampah yang berasal dari negara kreditur hanya untuk sampah kering, sedangkan jenis sampah yang ada di Indonesia, umumnya sampah tipe basah. Utang-utang luar negeri seperti jenis inilah yang dapat dimasukkan ke dalam Utang Najis (Odious Debt) dan membuat LSM-LSM anti utang berteriak agar pemerintah Indonesia berusaha meminta penghapusan kepada pihak kreditur. 5. Posisi beban pembayaran Utang Luar Negeri Negara-negara yang utang luar negerinya besar umumnya menghadapi masalah yang tidak hanya berhenti setelah mendapatkan utang tersebut, tetapi jauh lebih penting bagaimana pembayaran kembali utang tersebut. Masalah ini tidak terjadi jika negara itu secara financial mampu membayar karena penerimaan negaranya besar. Namun bagi Indonesia setelah krisis perbankan, pembayaran kembali utang ini merupakan masalah pelik. Pasalnya, pembayaran utang harus tetap bisa menjamin stabilitas dan mampu mempertahankan kegiatan ekonominya. Dilihat dari sisi APBN, beban pinjaman yang paling memberatkan adalah pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Besarnya cicilan dan bunga ini tergantung beberapa factor, yaitu : a. Besarnya utang luar negeri b. Jenis kreditur (berpengaruh pada tingkat bunga dan masa tenggang waktu pembayaran) c. Jatuh Tempo pembayaran d. Kebijakan nilai tukar yang diambil oleh pemerintah. Berbagai studi menunjukkan bahwa peranan utang terhadap pertumbuhan ekonomi bisa berdampak negative apabila rasio utang terhadap PDB sudah diatas 50%. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila negara berkembang banyak memakai indikator rasio utang terhadap PDB dimana rasionya di atas 60% sebagai lampu kuning. Tabel 1 Rasio Utang Luar Negeri Pemerintah terhadap PDB Tahun Rasio Utang LN Pemerintah terhadap PDB 2000 = > 45,30%
2001 = > 42,30%
2002 = > 37,30%
2003 = > 34,10%
2004 = > 31,90%
2005 = > 26,60%
6. Biaya Utang Luar Negeri Pemerintah (Cost of Borrowing)
Persepsi umum mengatakan bahwa utang luar negeri adalah lebih murah dibandingkan utang dalam negeri. Persepsi ini terkadang timbul tanpa ada bukti empiris yang kuat. Barangkali hal ini muncul karena suku bunga yang ditawarkan oleh kreditor asing jauh lebih rendah dibandingkan suku bunga domestik. Padahal bunga hanyalah salah satu komponen biaya pinjaman saja. Komponen biaya utama dari biaya utang tentu saja suku bunga yang ditawarkan oleh kreditor.
 
Selain itu kreditor juga biasanya membebankan biaya administrasi yang biasanya terdiri dari dua jenis fee yaitu up front fee dan commitment fee. Dalam kasus tied loan, juga harus diperhitungkan biaya kemahalan yaitu biaya yang timbul akibat harga pengadaan barang lebih mahal dari harga pasar. Dalam kasus kredit ekspor, biaya asuransi juga harus diperhitungkan. Selain itu, depresiasi nilai tukar juga harus ditambahkan sebagai komponen biaya.
Berikut akan dideskripsikan masing-masing komponen biaya tersebut, yaitu:
a) Suku Bunga
Suku Bunga adalah komponen utama dari utang walaupun mungkin bukan komponen paling besar. Suku bunga bisa ditetapkan secara mengambang (floating) atau tetap (fixed). Suku bunga mengambang biasanya mengacu kepada suku bunga internasional ditambah margin tertentu (lending spread). Sebagai contoh adalah World Bank yang menetapkan suku bunga pinjamannya sama dengan LIBOR ditambah 0,75%. Suku bunga tetap biasanya dilakukan oleh kreditor bilateral seperti Jepang dan Jerman. Suku Bunga pinjaman dari Jepang dalam mata uang Yen adalah 1,3% untuk jenis pinjaman general terms dan o,75% untuk preferential terms.
b) Up-front fee
Jenis fee ini hanya diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta fasilitas kredit ekspor. Fee ini ditarik ketika kontrak pinjam-meminjam berlaku efektif. World Bank menetapkan fee sebesar 1% dari nilai pinjaman, sedangkan ADB adalah sekitar 0,5%
c) Commitment fee
Jenis fee ini diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta kreditor lain bilateral dan fasilitas kredit ekspor sebagai suatu bentuk biaya terhadap pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan). World Bank mengenakan commitment fee sebesar 0,75% atas total undisbursed loan. ADB mengenakan fee ini sebesar 0,75% atas selisih antara target disbursement dengan realisasi penarikan.
d) Insurance premium
Premi asuransi ini hanya dikenakan atas pengadaan barang melalui fasilitas kredit ekspor. Besarnya premi tergantung pada dua hal yaitu tariff yang ditetapkan kreditor dan country risk. Semakin besar indeks country risk, semakin besar pula premi dikenakan.
e) Depresiasi
Dengan memperhitungkan laju depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya, dapat dibandingkan biaya utang luar negeri dengan pinjaman domestik. Resiko nilai tukar barangkali merupakan komponen biaya yang selalu luput dari perhitungan biaya pinjaman luar negeri . Padahal, depresiasi merupakan komponen biaya yang terbesar. Tingkat depresiasi rupiah sangat tergantung pada jenis valuta yang dijadikan denominasi.
Rumus Umum untuk menghitung Cost Of Borrowing (CoB) adalah:
Co B = [(i + d + p) /{(1 – μ) x (1 – (1 – D) c) }] X (1 +m)
Logika dari rumus tersebut adalah sebagai berikut : Komponen yang pertama adalah suku bunga (i) yang harus dikoreksi dengan laju depresiasi (d) supaya utang luar negeri dapat diperbandingkan dengan utang luar negeri. Selanjutnya adalah up front-fee (μ) dimana fee tersebut bersifat menurunkan jumlah utang yang sebenarnya diterima. Jika up front-fee adalah sebesar 1%, maka pokok utang yang sebenarnya diterima adalah 99% saja. Komponen berikutnya adalah Commitment fee.(c) yang bersifat menambah biaya jika penarikannya rendah. Biaya Kemahalan (m), yaitu persentase kenaikan harga dalam tied load, juga bersifat meningkatkan biaya pinjaman. Komponen terakhir adalah risk premium (p) yang dipungut diatas suku bunga atas pokok pinjaman.
Untuk pinjaman yang merupakan campuran antara pinjaman lunak dengan jenis pinjaman lainnya (blended loan) perhitungan biaya pinjaman dilakukan proporsional atas masing-masing jenis pinjaman. Sebagai contoh, untuk campuran antara pinjaman lunak dan kredit ekspor, perhitungannya adalah sebagai berikut :
CoB = w1 x CoB1 + w2 x CoB2
Dimana w1 adalah proporsi kredit lunak dan w2 adalah proporsi kredit ekspor. Cost of Borrowing untuk masing-masing komponen dihitung berdasarkan rumus umum sebelumnya.
Dalam buku Strategi Pendanaan Luar Negeri yang diterbitkan Bappenas tahun 2001 ditunjukan tabel hasil perhitungan rumus tersebut dengan dua versi perhitungan yaitu terendah-tertinggi dan tanpa- dengan depresiasi. Yang dimaksud dengan perhitungan terendah adalah biaya pinjaman kalau seandainya disbursement rate-nya mencapai 100% (tepat waktu) dan tidak ada biaya kemahalan. Sedangkan yang dimaksud dengan perhitungan tertinggi adalah kalau seandainya disbursement rate-nya hanya 50% ( dari target atau dari total) atau biaya pengadaan barangnya 30% lebih tinggi dari seharusnya. Perhitungan “ dengan depresiasi” adalah untuk mengukur seberapa besar pengaruh depresiasi rupiah dalam perhitungan biaya pinjaman.
Hasil perhitungan “tanpa depresiasi” menunjukan bahwa pinjaman bilateral secara rata-rata merupakan yang termurah. Di lain pihak kredit ekspor merupakan yang termahal. Bahkan tanpa harus menghitung depresiasi, biaya pinjaman dari kredit eksport tampaknya kurang lebih sama dengan kredit domestik.
Untuk dapat membandingkan dengan pembiayaan dari domestik, faktor depresiasi harus ikut dihitung. Terlihat faktor dominan yang menentukan mahalnya biaya pinjaman luar negeri adalah akibat depresiasi. Jika dibandingkan dengan kredit perbankan domestik, biaya pinjaman luar negeri secara rata-rata dalam 20 tahun terakhir ini relatif lebih mahal. Setidaknya bisa dikatakan bahwa berdasarkan pengalaman historis tampaknya tidak ada bukti yang mendukung bahwa pinjaman luar negeri lebih murah.
Sebagai implikasi dari hasil temuan ini adalah mahal tidaknya pinjaman luar negeri sangat tergantung pada depresiasi. Artinya resiko nilai tukar tampaknya merupakan faktor resiko yang harus menjadi fokus perhatian. Di sinilah masalahnya. Tingginya kewajiban pembayaran utang luar negeri membutuhkan kemampuan untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar. Akan tetapi beban utang juga dapat memberikan tekanan depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya.
 
7. Tingkat Penyerapan Utang Luar Negeri Rendah
 
Aneh tapi nyata itulah yang terjadi. Mungkin banyak khalayak umum yang mengetahui bahwa utang luar negeri kita jumlahnya sudah sangat besar namun sedikit yang mengetahui jika daya serap terhadap utang-utang yang sudah bisa dicairkan dari tahun ke tahun rendah. Hal yang tidak dapat dimengerti jika pihak negara/lembaga donor sudah menyetujui komitmen pemberian utang luar negeri kepada Indonesia namun pihak Indonesia sendiri belum bisa menggunakan dana yang tersedia tersebut untuk pembiayaan proyek-proyek di seluruh tanah air. Lalu mengapa harus terburu-buru meminjam jika ternyata kita tidak bisa segera memanfaatkannya. Ibarat kata nafsu besar tenaga kurang. Beban cicilan utang yang besar harus ditambah lagi dengan hal-hal yang tidak perlu terjadi jika kita tidak keburu nafsu untuk berhutang. Ya, karena nafsu besar tenaga kurang maka kita harus membayar “commitment fee” kepada negara donor yang besarnya 0,5-1% dari jumlah utang yang tidak terserap setiap tahunnya.
Berbagai penyebab rendahnya penyerapan pinjaman luar negeri tersebut seharusnya dapat diantisipasi karena terjadi tiap tahun misalnya keterlambatan pengisian daftar isian proyek, tidak adanya dana pendamping dan tidak adanya koordinasi antar instansi di daerah maupun antar lembaga pelaksana proyek. Atau dengan kata lain, seperti yang dikatakan ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Chatib Basri dalam sebuah harian terbesar di Jakarta beberapa waktu lalu adalah masalah kualitas perencanaan yang rendah, termasuk diantaranya antisipasi permasalahan sosial berupa penolakan dari masyarakat sekitar. Ini terjadi pada proyek Ciliwung Cisadane River Flood Control I yang dibiayai oleh pinjaman JBIC terancam dihentikan setelah 7 tahun berjalan dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat Tanggerang atas rencana sudetan Sungai Cisadane sehingga walaupun telah dilakukan revisi design proyek, namun rekomendasi design tidak sejalan dengan Grand Master Plan Pengendalian Banjir JABOTABEK sehingga tidak dapat disetujui Pemerintah DKI Jaya dan belum ada tindak lanjut konkrit tentang kelanjutan proyek ini.
Masalah lain penyebab keterlambatan dalam penyerapan pinjaman luar negeri tersebut adalah ketidaksiapan proyek itu sendiri, misal masalah pembebasan tanah, misprocurement (pengadaan barang/jasa yang tidak benar), manajemen serta dana backlog atau dianggap tidak layak dan seringkali departemen teknis tidak memahami loan agreement yang disiapkan lembaga pendanaan multilateral.
Sedangkan dari pihak kreditor penyebab keterlambatan dalam penyerapan pinjaman luar negeri tersebut adalah adanya persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia, yang dituangkan dalam policy matrix. Jika syarat itu tidak terpenuhi, negara donor tidak akan mau mencairkan dananya. Misalnya jika RUU Sumber Daya Air bisa segera disahkan maka akan dilakukan pencairan tahap ketiga sebesar US$ 150 juta. Bahkan Koensatwanto, Sekretaris Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas berulangkali menegaskan pinjaman proyek, yang selama ini mendominasi pinjaman luar negeri, lebih sering dikendalikan negara pemberi pinjaman atau bersifat donor-driven. Akibatnya pinjaman luar negeri kita kurang efektif karena pinjaman proyek sudah ditentukan oleh donor, misalnya bahan baku atau konsultan teknis proyeknya berasal dari negara/lembaga donor.
Koensatwanto mengungkapkan pengadaan utang luar negeri semestinya disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas penyerapan serta pengelolaan sehingga terhindar dari persoalan-persolan klasik, seperti rendahnya penyerapan dan keterlambatan pelaksanaan. (Harian Bisnis, 9 November 2004).
8. Teori Utang Luar Negeri
Hutang luar negeri pemerintah Indonesia merupakan pinjaman dari pihak-pihak asing seperti negara sahabat, lembaga internasional (IMF, World Bank, ADB), pihak lain yang bukan penduduk Indonesia. Bentuk hutang yang diterima dapat berupa dana, barang atau jasa. Berbentuk barang bila pemerintah membeli barang modal ataupun peralatan perang yang dibayar secra kredit. Berbentuk jasa sebagian besar berupa kehadiran tenaga ahli dari pihak kreditur untuk memberikan jasa konsultasi pada bidang-bidang tertentu yang lebih dikenal dengan Technical Assistance.
Karena bantuan luar negeri banyak harus dibayar kembali maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank dunia mengklasifikasikan total utang kredit IMF. Utang jangka pendek adalah utang dengan jatuh tempo satu tahun atau kurang. Utang jangka panjang umumnya berjangka waktu lebih dari satu tahun. Penggunaan kredit IMF merupakan kewajiban yang dapat dibeli kembali (repurchase obligations) atas semua penggunaan fasilitas IMF.
Utang yang berjangka panjang dapat diperinci menurut jenis utangnya, yaitu utang swasta yang tidak dijamin oleh pernerintah (public and publicly guaranteed debt). Utang swasta yang non guaranteed debt adalah utang yang dilakukan oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin oleh institusi pernerintah. Di lain pihak, utang pernerintah adalah utang yang dilakukan oleh suatu institusi pemerintah, termasuk pernerintah pusat, departemen, dan lembaga pernerintah yang otonom. Utang yang publicly guaranted merupakan utang yang dilakukan oleh debitur swasta namun dijamin pembayaramiya oleh suatu lembaga pemerintah. Bagi kebanyakan negara berkembang, jenis utang yang public and publicly guaranteed yang perlu lebih mendapat perhatian karena apabila negara berkembang tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka pemerintah negara tersebutlah yang menangung akibatnya. Resiko ini tidak dijumpai untuk kategori utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah karena swastalah yang harus menanggung akibatnya.
Pembahasan tentang utang luar negeri dalam makalah ini akan dijelaskan dengan kerangka teori Two Gap Model yang menunjukkan bahwa defisit pembiayaan investasi swasta terjadi karena tabungan lebih kecil dari investasi (1-S = resource gap), dan defisit perdagangan disebabkan karena ekspor lebih kecil dari impornya.M = trade gap). Di samping itu, masih ada defisit dalam anggaran pemerintah karena penerimaan pemerintah dari pajak lebih kecil dari pengeluaran pemerintah (T-G = fiscal gap). Hubungan antara defisit investasi swasta , defisit anggaran pemerintah, dan defisit perdagangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pendapatan nasional (Y) dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari pengeluaran konsumsi swasta (C), pengeluaran Investasi swasta (I), Pengeluaran Pernerintah (G) dan Ekspor bersih (X-M) atau:
Y = C + I + G + X - M ……….(1)
Pendapatan nasional (Y) dari sisi alokasi penggunaan merupakan penjumlahan dari Konsumsi masyarakat (C), Tabungan (S) dan Pajak (T) atau:
Y = C+S+T………………… (2)
Dari persamaan (1) dan (2) akan menghasilkan persamaan identitas defisit, yaitu bahwa defisit perdagangan (X-M) sama dengan defisit penerimaan dan pengeluaran pernerintah (T-G) ditambah defisit tabungan dan investasi swasta (S-1) atau:
(X-M) = (T-G) + (S-1) …….. (3)
Untuk persamaan (3) bisa saja terjadi hubungan kausal dalam arti jika terjadi ketidakseimbangan internal yakni pada sektor pemerintah dan/atau sektor swasta, akan mengganggu keseimbangan eksternal yakni pada sektor perdagangan. Jika diasumsikan bahwa ekspor dan impor mencakup barang dan jasa, maka pengertian defisit perdagangan akan lebih diarahkan pada defisit dalam transaksi berjalan. Dengan kerangka Two Gap Model di atas tersirat bahwa bila suatu negara berada dalam keadaan di mana neraca transaksi berjalannya mengalami ketidakseimbangan, maka dibutuhkan aliran modal masuk (capital inflows). Namun, jika suatu Negara yang menghadapi masalah defisit neraca transaksi berjalan dan menggunakan aliran modal masuk sebagai jalan keluarnya, maka seharusnya negara tersebut juga menyiapkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan defisit tersebut.Semakin banyak restriksi dan kontrol, akan sernakin sulit bagi suatu negara untuk menurunkan defisit. Jika suatu negara sudah melakukan tight money policy, menerapkan kebijaksanaan fiskal dan melakukan kontrol atas tarif dan impor, tetapi masih mengalami defisit neraca pembayaran, maka akan semakin sulit mengatasinya (Sodersten, 1980).
Besarnya minat investasi swasta, sementara sumber-sumber dana dalam negeri terbatas, telah mendorong swasta melakukan pinjaman ke luar negeri, baik dalam bentuk penanaman modal langsung dan pinjaman komersial maupun investasi portofolio dalam bentuk surat-surat berharga yang diterbitkan oleh swasta domestik. Persyaratan pinjaman luar negeri swasta, baik suku bunga maupun jangka waktu pada umumnya tidak lunak.
Sebagai salah satu langkah untuk mengendalikan laju permintaan domestik dalam rangka pemeliharaan kestabilan ekonomi makro, maka pemerintah membentuk kebijakan pinjaman komersial luar negeri (PKLN) terhadap utang luar negeri swasta. Inti dari kebijakan pinjaman komersial luar negeri ini adalah penetapan pinjaman komersial luar negeri swasta, baik secara nasional maupun perinciannya untuk BUMN, perbankan, dan swasta lainnya yang sesuai dengan kemampuan perekonomian Indonesia dalam melunasi pinjaman komersial luar negeri. Tim PKLN melakukan seleksi secara ketata terhadap rencana penggunaan pinjaman komersial luar negeri untuk proyek – proyek BUMN yang memungkinkan. Seleksi terhadap pinjaman komersial luar negeri untuk perbankan, alokasi maupun pemantauan dilakukan secara ketat oleh Bank Indonesia dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh tim PKLN. Sementara itu untuk pinjaman komersial untuk swasta lainnya merupakan indicator sebagai gambaran bagi pihak swasta dalam melakukan pinjaman ke luar negeri sesuai dengan sistem devisa bebas yang berlaku di Indonesia.
Ketatnya penerapan dan pengelolaaan pinjaman komersial luar negeri untuk BUMN dan perbankan telah mendorong berbagai inovasi dalam berbagai pelaksanaan proyek dan pencairan pinjaman komersial luar negeri tersebut oleh swasta Indonesia. Berbagai proyek yang semula dilakukan oleh BUMN kemudian dialihkan statusnya menjadi proyek swasta murni, baik dalam bentuk perusahaan penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri, sehingga terbebas dari pengaturan tim PKLN. Besarnya minat investasi yang didorong oleh kegairahan perekonomian yang tinggi serta besarnya perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri semakin mendorong pencairan pinjaman komersil luar negeri ke luar negeri oleh perusahaan swasta. Di lain pihak kepercayaan investor internasional terhadap perkembangan dan prospek perekonomian Indonesia masih tinggi. Sehingga menyebabkan pesatnya peningkatan utang swasta di luar BUMN dan perbankan, sedangkan utang pemerintah, BUMN, dan perbankan menjadi lebih terkendali.
Aspek penting lainnya yang menyangkut pemantauan utang luar negeri tersebut adalah dengan dukungan Debt Analysis and management System (DAMS) yang dikembangkan di Bank Indonesia dan sistem pelaporan yang ada, pendataan utang pemerintah, BUMN, dan perbankan dapat berjalan baik. Namun pelaporan utang swasta lainnya masih belum sesuai dengan yang diharapakan. Kendala ini timbul karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap perusahaan – perusahaan yang tidak melaporkan pinjaman luar negerinya.
Krisis nilai tukar rupiah yang terjadi sejak Juli tahun 1997, telah memberikan dampak yang berat dan telah menyebabkan krisis utang luar negeri Indonesi. Krisis ini terjadi pada uatang swasta diluar perbankan yang merupakan bagian terbesar dari utang Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah telah menyebabkan perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban utang luar negerinya. Faktor-faktor penyebabnya adalah besarnya utang luar negeri untuk pembiayaan proyek-proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mismatch). Kepanikan perusahaan dalam memburu dolar untuk memenuhi kewajiban uatang luar negerinya semakin memperlemah nilai tukar rupiah, yang selanjutnya semakin mempersulit penyelesaian utang luar negerinya. Kondisi tersebut diperburuk oleh kreditur luar negeri untuk memperpanjang (roll-over) utang swasta yang jatuh tempo.
Sementara itu, krisis utang luar negeri yang dialami oleh sektor perbankan tidak kalah beratnya. Langkah-langkah antisipasi yang telah diambil pemerintah selama ini, antara lain melalui pengaturan pinjaman komersil luar negeri dan peraturan posisi devisa neto (PDN), menjadi tidak evektif mengingat terdapat asimetri dalam penyelesaian sisi aktiva dan pasiva valuta asing perbankan. Disisi aktiva, asset valuta asing yang dimiliki perbankan tidak menghasilkan manfaat optimal karena kredit yang telah disalurkan perbankan meghadapi resiko macet sebagai akibat dari berbagai kesulitan yang dihadapi oleh debiturnya. Sementara itu disisi pasiva, industri perbankan menghadapi kesulitan yang sama dengan yang dihadapi oleh perusahaan swasta lainnya, yaitu adanya resiko nilai tukar dan tidak diperpanjangnya fasilitas kredit oleh kreditur luar negeri.
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri di mana banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan dananya pada usaha-usaha non-produktif, seperti tanah, atau menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal..
Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, studi-studi empiris mengenai pengaruh utang luar negeri dan berbagai tipe modal asing lainnya terhadap pertumbulian ekonomi dan atau tabungan di suatu negara terus berlangsung (Rana, 1987 ; Rachbini, 1995 : ix). Di satu sisi, dari tahun ke tahun studi-studi tersebut terus mengalami perkembangan, baik dalam permodelan maupun metodologi penelitian. Di sisi lain, penelitian-penelitian yang ada ternyata menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai.
 
9. Asal Hutang Luar Negeri
Utang yang tergolong public and publicly guaranteed dapat diperinci menurut krediturnya. Selama ini pihak kreditur (pihak yang memberikan utang) dapat berasal dari sumber resmi maupun swasta. Utang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi :
1) Bilateral
Pinjaman bilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang atau jasa. yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga/badan keuangan yang dibentuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman vang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Dari segi jenisnya, pinjaman/hibah bilateral dapat dibedakan dalam : hibah (grant), yaitu penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun barang/jasa yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah digunakan untuk pembiayaan proyek, namun khusus hibah dalam bentuk devisa dapat digunakan untuk bantuan program. Hibah yang diterima pemerintah saat ini berasal dari pemerintah Inggris, Australia, selandia Baru dan Kanada. Pinjaman Lunak (soft loan), yaitu pinjaman yang disetujui oleh negara donor dengan persyaratan Grant Element minimum dengan bunga pinjaman sebesar 3,5% atau kurang, jangka waktu pengembalian 25 tahun atau lebih, termasuk tenggang waktu 7 tahun lebih. Pinjaman ini umumnya digunakan_untuk pembiayaan proyek dan bantuan program. Dalam praktiknya pinjaman lunak tersebut dapat diperoleh pula dari gabungan antara pinjaman komersial atau fasilitas kredit ekspor dengan pinjaman lunak. Yang terpenting gabungan dari sumber-sumber pinjaman tersebut akan menghasilkan persyaratan pinjaman lunak sesuai dengan Inpres No. 8/1984. Bentuk pinjaman ini disebut blending.
2) Multilateral
Pinjaman miiltilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang/jasa yang diperoleh dari pemberian Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari lembaga keuangan internasional maupun regional dan biasanya Indonesia merupakan anggota dari lembaga keuangan tersebut. Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang persyaratannya lebih mahal (lebih berat) dari pinjaman lunak tetapi masih lebih lunak dari fasilitas kredit ekspor. Pinjaman bentuk ini pada umumna merupakan gabungan dari pinjaman lunak dengan fasilitas :ekspor atau pinjaman komersial. Bentuk pinjaman ini disebut Credit yang persyaratannya tidak mengikuti ODA terms and wis. Pinjaman (Mixed Credit) ini yang pertama menawarkan Indonesia adalah negara Perancis, kemudian diikuti oleh Negara Jerman (KFW) dan kernudian oleh negara Inggris. Pinjaman ini dimanfaatkan Indonesia saat ini karena sejak Indonesia naik peringkatnya dari non industrialized country menjadi semi industri country, pada akhir Repelita III sudah agak sukar memperoleh pinjaman bersyarat lunak (ODA terms and Conditions).
Berdasarkan data diatas kita dapat ketahui posisi utang luar negeri Indonesia terhadap negara lain didunia sampai tahun 1965, Pada masa orde lama, seiring dengan kebijakan politik yang ditempuh, sebagian besar utang luar negeri Indonesia (59.9 %) berasal dari negara-negara blok komunis. Utang kepada Uni Soviet sendiri mencapai 41.9 persen sampai akhir desember 1965, masih lebih besar daripada utang gabungan negara-negara blok Barat dan negara Asia/Afrika serta lembaga internasional. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1965, utang luar negeri Indonesia secar keseluruhan bernilai US$ 2.358 juta. Sebagian besar dari utang-utang itu (42 persen) adalah utang jangka panjang/menengah.




















BAB III
KAJIAN ANALISIS

A. Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
 
Dalam pengertian investasi riel dibedakan antara investasi bruto dan investasi netto, investasi swasta dan investasi pemerintah, serta investasi domestik dan investasi asing. Dua pasangan pengertian investasi riel yang terakhir jelas merupakan pembedaan dari segi pemiliknya saja yaitu apakah merupakan milik serta dilakukan pemerintah atau oleh swasta, dan merupakan milik serta dilakukan oleh orang asing atau oleh warga negara sendiri. Istilah investasi bruto swasta domestik menunjukkan investasi pada mesin-mesin, peralatan serta gedung-gedung yang habis dikonsumsi dalam proses produksi pada tahun berjalan ditambah dengan tambahan netto persediaan barang-barang kapital. Konsumsi pemakaian barang-barang kapital merupakan penyusutan. Jadi investasi bruto adalah investasi pengganti ditambah investasi bersih atau investasi tambahan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa dilihat dari investasi nettonya, bila investasi bruto melebihi penyusutan atau investasi penggantinya maka terdapat investasi netto dan perekonomian negara tersebut mengalami perluasan.
 
Perekonomian suatu negara mengalami stagnasi atau penurunan bila investasi netto negatif atau dimana investasi bruto lebih kecil daripada investasi pengganti. Dunia usaha mengadakan investasi didorong oleh pertimbangan ekspektasi keuntungan jangka panjang yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, pertumbuhan penduduk serta faktor-faktor lain. Investasi bervariasi secara langsung dengan pendapatan, hal ini karena investasi berhubungan dengan keuntungan, dan sebagian besar investasi dibiayai secara internal dari keuntungan perusahaan. Bila pendapatan naik, keuntungan juga naik dan demikian pula tingkat investasi. Bila tingkat pendapatan atau output rendah, ini berarti dunia usaha mempunyai cukup banyak kelebihan kapasitas produksi hingga tak ada dorongan membeli barang-barang kapital baru.
 
Pengaruh investasi asing langsung terhadap pertumbuhan ekonomi merupakan arti penting bagi negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
 
Sampai saat ini konsep pembangunan dengan menggunakan modal asing masih sering menimbulkan pendapat. Foreign Direct Investment (FDI) dipandang sebagai cara yang lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Dengan melalui FDI, modal asing dapat memberikan kontribusi yang lebih baik kedalam proses pembangunan. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang di Asia Timur, termasuk Indonesia, berusaha memberikan insentif kepada masuknya modal asing dalam bentuk FDI ini. Disisi lain, negara pengekspor kapital juga memberikan insentif kepada sektor swasta berupa insentif pajak, jaminan dan asuransi atas investasi untuk mendorong FDI ke negara berkembang.
 
Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus-menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Pengaruh dari peran ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi dalam perekonomian. Pertama, investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat. Maka kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. Peningkatan seperti ini akan selalu diikuti oleh pertambahan dalam kesempatan kerja. Kedua, pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambahkan kepastian memproduksi dimasa depan dan perkembangan ini akan menstimulir pertambahan produksi nasional dan kesempatan kerja. Ketiga, investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi.
Perkembangan akan memberikan sumbangan penting ke atas kenaikan produktivitas dan pendapatan perkapita masyarakat (Sukirno,2000: 367).
B. Investasi Asing untuk Pembiayaan Pembangunan
 
Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu komponen aliran modal yang masuk ke suatu negara dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dan mempunyai resiko yang kecil dibandingkan aliran modal lainnya, misalnya portofolio investasi ataupun utang luar negeri. Salah satu sebabnya adalah dikarenakan PMA tidak begitu mudah terkena gejolak fluktuasi mata uang (seperti halnya investasi portofolio) ataupun beban bunga yang berat (misalnya utang luar negeri). Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Asia pada tahun 1997. PMA yang dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis ekonomi di Asia, melainkan faktor pemicunya adalah investasi portofolio. Selain itu kita bisa melihat begitu beratnya beban pembayaran bunga yang diderita masyarakat Indonesia akibat utang luar negeri. Sehingga pada masa mendatang sudah dapat dipastikan bahwa PMA diharapkan akan menjadi kunci suksesnya pembangunan di Indonesia. Pembangunan yang diharapkan bagi negara kita pada masa mendatang adalah pembangunan berkelanjutan. Sehingga PMA yang harus diterapkan di negara kita adalah PMA yang berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan PMA yang berkelanjutan di sini adalah PMA yang dapat memaksimalkan keuntungan PMA bagi Indonesia (misalnya kesempatan kerja; kenaikan pendapatan; transfer teknologi; stabilitas ekonomi); dan meminimalkan dampak negatif PMA bagi Indonesia(misalnya monopoli oleh perusahaan multinasional; dampak negatif terhadap sosial dan ekonomi; dan degradasi terhadap lingkungan).
 
Dampak dari PMA terhadap perekonomian suatu negara dapat disimpulkan bahwa dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan sangat tergantung dari kondisi host countries; tingkat tabungan-investasi domestik; metode yang digunakan dalam PMA (misalnya merger & acuisition ataupun greenfield investment); sektor-sektor yang terlibat dalam PMA; dan tentunya stabilitas dari host countries. Pada akhirnya diharapkan perlu untuk melakukan penilaian terhadap faktor faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh PMA. Keputusan peru sahaan asing dalam melakukan PMA akan didasarkan pada berbagai pertimbangan, misalnya stabilitas politik di host countries, aksesibilitas dan potensial pasar di host countreis, repatriasi keuntungan untuk kepentingan investor asing, dan terdapatnya infrastruktur yang memadai di host countries. Privatisasi dan deregulasi merupakan faktor kunci untuk menarik PMA.
C. Penghapusan Utang
Dengan latar belakang seperti itu, tentu tidak berlebihan pula bila salah satu tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia tidak hanya akan sulit membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke dalam kolonialisme utang.
Sehubungan dengan itu, konsep utang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk disimak. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”
 
Konsep utang najis yang diperkenalkan Sack pada tahun 1927 itu dibangunnya berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi sebelumnya. Negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu adalah Amerika, yaitu ketika negara tersebut mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol pada tahun 1898. Menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke Amerika, pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat di masa pemerintahannya itu kepada Amerika.
Tetapi Amerika secara tegas menoiak penggeseran tanggungjawab untuk melunasi “utang-utang Cuba” tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, Amerika antara lain mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, menurut Amerika, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.
Berdasarkan konsep utang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat disaksikan bahwa setiap pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki peluang untuk memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.
Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan utang dengan menggunakan konsep utang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buruknya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri dalam era Soeharto. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 30 persen (World Bank, 1997).
Kedua, para kreditor wajib bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan utang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen utang luar negeri Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Daiam rangka mengegolkan proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.
Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan utang adalah Brazil, Mexico, Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Masing-masing negara tentu mengemukakan alasan yang barbeda-beda ketika mengajukan tuntutan penghapusan utang mereka. Tetapi kata kuncinya terletak pada adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban utang kepada rakyatnya masing-masing. Menggeser beban utang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha mancanegara.
Dilihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut penghapusan utang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia.














BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab I, II, dan III, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Iklim investsi di Indonesia sampai saat ini masih memprihatinkan, dan belum bersifat condunsif. Minat modal asing masih belum termotivasi untuk mengalir masuk ke Indonesia, dibandingan dengan beberapa negara lain khususnya Negara Negara Asean. Perkembangan realisasi investsi tahun 1997 s/d Oktober 2007 yang pada umumnya masih berada dibawah 50 % dari total kesepakatan PMA yang telah disetujui sejak krisis politik yang dilanjutkan dengan krisis ekonomi, merupakan suatu bukti atas hal tersebut. Dari laporan Word Investment Repot tahun 2007, juga suatu bukti yang menunjukkan rendahnya minat modal asing untuk masuk ke Indonesia. Dari laporan tersebut dilihat dari FDI inflow to ASEAN, tahun 2006 , Indonesia berada pada urutan ke 4 (nilai 5, 3 US$ billion ). Singapore di urutan 1 ( nilai 24,2 US$ billion, Thailand di urutan ke 2 ( nilai US$ 9,3 ), Malasya di urutan ke 3 ( nilai US$ 6,0 billion dan Viet Nam diurutan ke 5 nilai US$ 2,3 billion).
2. Indonesia sampai saat ini dihdpkan pada tantangan yang cukup berat, baik yang bersumber dari dalam negeri dan maupun dari luar negeri. Diantaranya ketrbatasn pemodalan, skill dan Knowlede, maslah keamanan dalam negeri yang oleh dunia luar masih dianggap berisiko tinggi ( risk country yang tinggi). Bukti mengenai hal ini selain disebabkan peristiwa Bom Bali I dan 2 tahun 2005, juga dari hasil survey majalah bisnis dunia “ Forbes “ ( Media Indonesia- Juni 2008 ) terhadap 120 negara didunia yang berfokus pada penilaian iklim bisnis dilihat dari bagaimana perlindungan terhadap penanam modal, penanganan korupsi, dukungan kebijkan ekonomi ntuk perdagngan bebas, serta tekanan inflasi. Hasil survey yang dirilis Forbes tersebut, menempatkan Indonesia bearada pada peringkat 81 sebagai negar tujuan bisnis. Singapore dan Hongkong berada pada peringkat delapan dan sembilan, Malasya dan Thailand berada pada peringkat 38 dan 53. Srilangka dan China pada peringkat 67 dan 79, yang berarti lebih baik dari Indonesia. Tantangan lain yang dihadai dari luar, yaitu adanya perekonomian duania yng semakin bersifat global, kondisi pasar global yang hiperkompetitif, technical gap, dan percepatan pelaksanaan kesepakatan kerja sama diantara Negara-negara Asia dan ASEAN dibidang perdagangan dan investasi.
3. Masalah politik yang belum mendukung iklim investasi yang menarik baik ditingkat pusat dan daerah sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Diperkirakan masalah ini akan lebih memanas dimasa masa datng sehubungan dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ( banyaknya partai partai yang terlibat pada Pemilu 2009 merupakan suatu indikasi akan munculnya gejolak social dimsyarakat yang pada akhirnya dapat memicu ketidak stabilan politik.









DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Yulianto, “Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003
Ridwan Khairandy,”Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003
Yulianto Syahyu,”Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003
Indonesia, Undang-undang Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penjelasan umum alenia ke 2. Lembar Negara Nomor 67. Tahun 2007.
Delisa A. Ridgway dan Mariya A.Talib, ”Globalization and Development: Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law”, California Western International Law Journal, Vol 33, Spring 2003
Jonh W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: Proyek Elips, 1997
Tulus Tambunan, “Kendala Perizinan Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia dan Upaya Perbaikan Yang Perlu di Lakukan Pemerintah”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26 No. 4, Tahun 2007
Erman Radjagukguk, Modul Hukum Investasi di Indonesia: Pokok Bahasan, (FHUI, 2006)
Ian Hewitt, Joint Ventures, Second edition, Sweet and Maxwell A Thomson Company, 2001
Peter Muchlinski, Multinational Enterprise and The Law, (Oxford: Blackwell, 1997)
Aminudin, Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Universitas Hasanudin, 1990)
Ridwan Khairandy, “Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa Di Perusahaan Joint Venture”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 4, Tahun 2007
Subekti, Hukum Perjanjian , (Jakarta: Intermasa, 2005) Cet. 21, 2005.
 
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986)
 
Anoraga, Panji, Perusahaan Multi Nasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka, Yaya, Jakartam
Adam P, 1991. Odious Debt: Loose Lending, Corruption, and the Third World’s Environmental Legacy. London: Probe International.
Arief S, Sasono A, 1987. Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Danaher K, 2005. 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Erler B, 1989. Bantuan Mematikan: Catalan Lapangan tentang Bantuan Asing. Jakarta: LP3ES.
Grenville S, 1982. "Kebijakan Moneter dan Sektor Keuangan Formal". Dalam (Booth A, McCawley. eds). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES, pp 132-165.
Hatta M, 1967. "Masalah Bantuan Perkembangan Bagi Indonesia". Dalam (Swasono S, Ridjal F. ed. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hlm 195-218.
Hanlon J, 2000. Warisan Utang Rezim Diktator. Yogyakarta: Insist. Hayter T. 1971. Aid as Imperialism. Hammondsworth: Penguin.
Mas’oed M, 1996. "Tinjauan Ekonomi-Politik Masalah Hutang Luar Negeri". Dalam (Damanik J et.al, eds), Membangun di Tengah Pusaran Hutang. Yogyakarta: Iterfidei.
Pincus J, Winter JA, 2004. Membongkar Bank Dunia. Jakarta: Djambatan.
Rich B, 1999. Menggadaikan Bumi: Bank Dunia, Pemiskinan Lingkungan, dan Krisis Pembangunan. Jakarta: Infid.
Suhud M, 2003. Arbitrase Utang: Penyelesaian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia. Jakarta: INFID.
Weinstein FB, 1976. Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto. Ithaca: Cornel University Press.
Arsyad, Lincolin (1992), Ekonomi Pembangunan, Bagian Penerbitan, STIE YKPN, Yogyakarta.
 
Badikenita (2004), Analisis Kausalitas Antara Ekspor Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Negara-Negara ASEAN”, FE UNSU, Sumatra Utara
 
Boediono (1985), Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta.
 
Faried Wijaya (1989), Ekonomika Makro, BPFE, Yogyakarta.
 
Fendityana, Tunggal Yoga (2005), Analisis Uji Kausalitas Granger Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penanaman Modal asing Langsung Indonesia Periode 1986-2003, diambil pada tanggal 20 Desember 2007 dari http://adln.lib.unair.ac.id/.
 
Jhingan M.L (2000), Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Penerjemah: D. Guritno, Edisi Pertama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
 
Sudarsono, Heri (2003), Perkembangan Ekonomi Di Negara Muslim; Telaah Keberadaan Nilai Islam Dalam Sistem Ekonomi Di Negara Muslim, Aplikasi Bisnis, Volume 4, No. 5, FE UII, Yogyakarta.
 
Sukirno, Sadono (1998), Pengantar Teori Makroekonomi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
 
Todaro, Michael, P. dan Stephen C. Smith (2003), Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan, Erlangga, Jakarta.
 
Todaro, Michael, P. (1997), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, jilid 1, Edisi Keenam, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
 
Utomo, Yuni Priadi (2000), Ekspor Mendorong Pertumbuhan atau Pertumbuhan Mendorong Ekspor, Jurnal Manajemen, Vol.1, No.1, UII, Yogyakarta.
 
Widarjono, Agus (2005), Ekonometrika Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis, Ekonisia FE UII, Yogyakarta.
 
Wijayanti, Diana (2004), Analisis Kesenjangan Pembangunan Regional: Indonesia, 1992 – 2001, Tesis S-2 (Tidak Dipublikasikan), UGM, Yogyakarta.
 
Nindyo Prmono, Magister Hukum Bisnis UGM ; Perkembangan arus investsi ditinjau dari Perspektif Hukum Bisnis, www.legalitas. org
Zaidun, Mohamad,2005 ; Penerapan prinsip prinsip Hukum Internasional Penanaman Modal Asing, Disertasi, Belum dipublikasikan, Universitas Airlangga, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar